Jumat, 14 Januari 2011

Komunikasi Ilmiah Melalui Jurnal Mengapa Kita Tertinggal?

BULAN April lalu harian Kompas melaporkan masalah penerbitan majalah ilmiah atau jurnal sebagai wahana komunikasi ilmiah (cetak miring dari penulis) di lingkungan pendidikan tinggi. Diungkapkan pengalaman Drs. Harisusanto - redaktur pelaksana majalah ilmiah Atma nan Jaya - yang menyatakan bahwa materi yang masuk ke redaksi pas-pasan dan mutunya rendah. Untuk bisa dimuat, separuh dari isi artikel yang masuk harus dirombak. Yang sama juga dinyatakan oleh Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, guru besar Fakultas Sastra UI. Disinyalir bahwa kalangan dosen, yang seharusnya menelurkan karya tulis ilmiah, terlalu banyak terlibat dalam berbagai aktivitas di luar kampus. Akibatnya, kegiatan penulisan ilmiah yang bertujuan mengembangkan iptek menjadi terabaikan. Terbitan jurnal, sebagai wahana komunikasi ilmiah dan sekaligus tolok ukur kemajuan iptek di lingkungan perguruan tinggi, akhirnya juga kurang mendapat perhatian.
***
SEJARAH "tradisi" komunikasi ilmiah antar-para ilmuwan sudah dimulai di Eropa Barat sejak abad 16. Pada waktu itu bentuknya adalah surat-surat pribadi, diskusi informal, serta "majalah ilmiah" yang diedarkan di lingkungan akademisi. Tradisi komunikasi ilmiah itu didukung oleh semboyan "publish or perish", yang demikian lekat dalam budaya akademik mereka. Ini adalah salah satu faktor yang memacu ilmuwan untuk selalu berkomunikasi dengan ilmuwan lain melalui jurnal ilmiah. Karena tradisi ini maka para ilmuwan Barat kini menjadi penyumbang utama jurnal ilmiah dunia.

Dari sekitar 3.300 judul jurnal ilmiah dari berbagai negara yang tercakup dalam Science Citation Index (SCI), 30,82 persen berasal dari para ilmuwan Amerika. Sementara itu persentase ilmuwan Inggris dan Jerman masing-masing adalah 7,92 persen dan 7,18 persen. Membanjirnya produk pikir mereka melalui berbagai jurnal itulah yang menyebabkan "ketergantungan" kita terhadap hasil temuan dan penelitian terbaru mereka. Hegemoni ini demikian kuat karena didukung oleh infrastruktur hasil penelitian yang demikian canggih dan telah terlembaga.

Bagaimana dengan produktivitas ilmuwan kita dalam melakukan komunikasi ilmiah melalui jurnal? Secara jujur perlu diakui bahwa produktivitas ilmuwan kita "belum menggembirakan" apalagi untuk tingkat internasional. Indikator mengenai sumbangan ilmuwan Indonesia dalam komunikasi ilmiah melalui artikel ilmiah bisa dilihat pada indeks SCI. Pada tahun 1994, misalnya, persentase sumbangan ilmuwan Indonesia dalam pemgembangan iptek dunia adalah 0,012 persen. Angka ini jauh di bawah sumbangan ilmuwan negara-negara ASEAN lainnya seperti Filipina :0,035 persen, Malaysia: 0,064 persen, Thailand: 0,086 persen, dan Singapura: 0,179 persen (lihat Scientific American, Agustus 1995).

Persentase ini mengakibatkan poin indeks sitasi ilmiah dari SCI untuk Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 2,5. Bandingkan misalnya dengan poin indeks Mesir dan India, yang masing-masing adalah 17 dan 90 (Suwarwoto, Kompas 14 Oktober 1995). Angka poin indeks itu mencerminkan kontribusi ilmuwan kita di kalangan ilmuwan lain yang dilakukan dengan cara menyitir pendapat ilmuwan kita. Poin itu menunjukkan bahwa karya ilmuwan bangsa kita jarang dimuat dalam jurnal internasional, serta kurang "berbobot"-nya jurnal yang memuatnya, jika jurnal tersebut diterbitkan secara lokal sehingga tidak dapat menembus kriteria jurnal "ilmiah" sebagaimana dimuat pada SCI.
***
DI kalangan penerbitan jurnal lokal Indonesia, akhir-akhir ini muncul gejala yang memprihatinkan. Banyak jurnal yang terbit ala kadarnya, bahkan ada yang hanya sekali atau dua kali terbit lalu langsung mati tidak berkelanjutan. Banyak jenis jurnal semacam itu diterbitkan oleh kelompok tertentu dengan redaksi seadanya, dinilai oleh mereka sendiri, disebarkan terbatas untuk kalangan sendiri, dan dibuat dengan tujuan utama menambah angka kredit kenaikan pangkat. Lalu bagaimana kita akan mampu bersaing dalam era global yang berubah dengan cepat bila kondisi penyebaran informasi iptek kita masih seperti itu?
Namun di balik rendahnya kualitas jurnal yang terbit seadanya, gejala tumbuhnya banyak jurnal di lingkungan PT sebenarnya menggembirakan. Paling tidak, dosen dan peneliti muda mempunyai wahana untuk melakukan komunikasi ilmiah. Jika dicermati, sebenarnya ada sebagian jurnal terbitan Indonesia yang cukup baik untuk dikembangkan secara lebih serius sebagai media komunikasi ilmiah. Penelitian, yang dilakukan oleh Sampoerno dkk. pada tahun 1994 terhadap keefektifan jurnal bidang kesehatan di Indonesia, misalnya, menunjukkan bahwa dari 66 jurnal ilmiah bidang kesehatan yang terbit di Indonesia, 44 jurnal layak dikategorikan "sangat baik" sesuai dengan kriteria penelitiannya. Dalam kategori itu termasuk di dalamnya 16 jurnal bidang kesehatan dalam bahasa Inggris, 8 jurnal yang kadang-kadang memuat artikel dalam bahasa Inggris, serta sisanya jurnal dalam bahasa Indonesia.

Tentunya akan sangat baik apabila media komunikasi ilmiah bidang kesehatan itu bisa dikembangkan ke arah spesifikasi khusus sesuai kondisi Indonesia, yaitu kesehatan di wilayah tropis. Dalam hal ini Medical Journal of Indonesia, misalnya, merupakan salah satu jurnal kesehatan yang telah memiliki reputasi yang cukup baik.

Sayang, sampai saat ini belum ada data persis berapa sebenarnya jumlah jurnal ilmiah terbitan Indonesia yang memang layak disebut sebagai jurnal ilmiah. Kalau dilihat dari ISSN, berdasarkan laporan tahunan PDII-LIPI 1995, sampai tahun 1994 ada 516 terbitan yang sudah memiliki ISSN. Jumlah tersebut meliputi semua terbitan berkala, baik umum, populer ataupun yang bersifat ilmiah. Namun untuk terbitan ilmiah tidak bisa diketahui apakah terbitan tersebut layak dikategorikan sebagai jurnal ilmiah yang berbobot. Demikian belum ada penelitian untuk menilai jurnal terbitan Indonesia secara menyeluruh, mana termasuk jurnal yang berbobot, jurnal inti (core journal) dalam bidangnya. Dalam kerangka ini sangat menarik jika rencana Dirjen Dikti untuk menilai peringkat jurnal terbitan PT segera dilaksanakan.

Ada pertautan antara produktivitas ilmuwan kita dengan mutu sebagian besar jurnal yang terbit di Indonesia yang kebanyakan diterbitkan oleh lingkungan PT. Salah satu penentu mutu suatu jurnal adalah kualitas penulisnya. Melihat masih banyaknya jurnal yang terbit seadanya, apakah ini suatu pertanda bahwa iklim "membaca-meneliti-menulis" dari ilmuwan kita juga "seadanya"?
Proses penulisan karya ilmiah, paling tidak memerlukan dukungan informasi ilmiah. Ini bisa didapat dengan cara membeli atau melanggan sendiri atau melalui perpustakaan. Tapi para praktisi bidang perpustakaan seringkali dihadapkan pada dilema dengan besarnya biaya pengadaan jurnal ilmiah luar negeri yang harganya tidak murah, sedangkan dukungan dana relatif kecil. Ironisnya penentu kebijakan di lingkungan perpustakaan tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapi persoalan ini. Apabila kondisi ini terus berlanjut bisa dibayangkan akibatnya, betapa tidak mudahnya mencari informasi tentang perkembangan iptek terbaru.

Saat ini satu-satunya majalah indeks terbitan Indonesia, Indeks Majalah Ilmiah Indonesia (IMII), adalah sarana untuk mengetahui hasil penelitian ilmuwan Indonesia yang dikomunikasikan melalui jurnal. Sayang majalah yang menjadi kunci pembuka infomasi lain itu kurang ditangani secara serius meski diterbitkan oleh PDII-LIPI. Pada tahun 1993 hanya ada 2.000 indeks. Ini berarti ilmuwan yang karyanya tercantum dalam majalah indeks pada tahun tersebut berjumlah sekitar 2.000 orang. Tapi bila angka itu dibandingkan dengan jumlah ilmuwan kita, maka jumlahnya sangat kecil. Ada dugaan angka kecil itu disebabkan karena sebagian indeks artikel penelitian tidak dapat ditampung dalam IMII. Ini juga memprihatinkan karena berarti bahwa jejak tentang keberadaan suatu karya ilmiah, yang dipublikasikan melalui sebuah jurnal, telah hilang.

Jumlah jurnal Indonesia juga sangat sedikit (rendah). Pada bidang kedokteran, misalnya, hanya ada 31 judul yang terbit di Indonesia. Padahal ada 27 PT yang memiliki fakultas kedokteran, ditambah dengan sekitar 40 organisasi profesional kedokteran yang berada di bawah naungan IDI. Bidang yang lain rasanya tidak lebih baik dari kondisi majalah kedokteran tersebut, atau bahkan bisa lebih jelek. Kondisi ini tentunya kurang menguntungkan bagi penyebaran dan pengembangan iptek di Indonesia.
GARVEY (dalam Communication the Essense of Science, Pergamon Press, 1989), menyatakan bahwa komunikasi ilmiah melalui jurnal ilmiah merupakan hal yang amat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Melalui jurnal ilmiah, temuan baru dari peneliti dan ilmuwan dikomunikasikan ke masyarakat, guna mendapat tanggapan, dikembangkan dan disempurnakan oleh ilmuwan lain, sehingga kesempurnaan dan kebenaran ilmunya menjadi lebih baik. Jika ditarik lebih jauh, kehadiran berbagai jurnal ilmiah dalam masyarakat akademik juga merupakan investasi jangka panjang untuk memacu meningkatkan sumber daya manusia. Setiap penerbitan jurnal mempunyai kekuatan ganda, yaitu sebagai dokumentasi iptek dan sekaligus sarana penyebarannya.

Menghadapi kondisi masih rendahnya tingkat komunikasi ilmiah dari ilmuwan dan belum memadainya jumlah jurnal kita, rasanya sudah waktunya perlu diciptakan kemudahan mendapatkan informasi ilmiah yang memadai sebagai salah satu pendorong lahirnya artikel di berbagai jurnal ilmiah yang bermutu. Selain itu berbagai organisasi profesi yang bergerak dalam bidang keilmuan perlu menciptakan komitmen untuk mengembangkan budaya meneliti dan menulis dari anggotanya, serta menyediakan saluran media komunikasi ilmiah melalui jurnal di kalangan ilmuwan kita. Dengan cara ini dan ditambah dengan penciptaan lingkungan yang kompetitif - salah satunya seperti pemilihan peneliti muda berprestasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh LIPI - diharapkan akan lahir berbagai karya ilmiah yang berbobot, yang akhirnya bermuara pada lahirnya jurnal terbitan Indonesia yang memiliki reputasi keilmuan yang dapat diandalkan.

Sudah waktunya karya ilmiah ilmuwan kita, yang terbit melalui berbagai jurnal, mampu berdiri pada garis depan penunjang pengembangan iptek di Indonesia. Komunikasi ilmiah antara sesama ilmuwan semacam ini penting dilakukan untuk mempercepat penyebaran dan sekaligus pengembangan iptek.

* Darmono, alumni PPS-UI, pemerhati masalah pusdokinfo, pustakawan Universitas Negeri Malang. Artikel ini pernah dimuat pada harian KOMPAS tgl 3 Agustus 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar